Ikhwah, beberapa hari aku disibukkan dengan satu urusan sehingga terpaksa bersafar dan menyebabkan aku tidak mengetahui apa yang terjadi di sekeliling sampai aku kembali ke kota tercinta baru sampai berita kepadaku perginya seorang lagi ulama kebanggaan dunia Jawi. Perginya Said Ahmad Bin Semait dalam kecelakaan pada 15 Juli lalu, amat mendukacitakan, tetapi selaku umat beriman kita harus ridha dan bersabar. Semestinya hati kita terasa pilu dan sedih atas kepergiannya secara tiba-tiba. Dari terjemahan kitabnya aku mulai mengenal jalan salaf Bani 'Alawi. Kitab pertama yang kutadah dari masyrab Bani Alawi adalah terjemahan beliau untuk kitab " Nashoih "karya Imam al-Haddad, waktu itu usiaku masih belum baligh. Jadi kenapa tidak aku bersedih. Seorang demi seorang ulama kita pergi meninggalkan kita, apakah pengganti mereka? Atau yang tinggal hanya protaz-protaz saja? Ulama yang khumul yang berjuang untuk mendekatkan masyarakat ke agama, harmoni dalam beramal, tanpa menimbulkan kekeliruan dan kecelaruan telah pergi, harap-harap penggantinya pun menurut jejak mereka. Jangan ada penggantinya belajar saja tinggi, tetapi ajarannya membuat masyarakat keliru, bercelaru dan haru biru.
Untuk renungan bersama kunukil beberapa hadits yang disebut oleh dalam " Lubabul Hadits ". Antaranya Imam asy-Sayuthi meriwayatkan " mautul 'ulama `dzhulmatun fid din "- Matinya ulama itu kegelapan dalam agama. Hadits lagi bahwa " idza maatal 'aalim, bakat' alaihi ahlus samaawaati wal ardhi sab `iina yawman "- Bila mati orang alim, maka menangislah semua anggota langit dan bumi atas kematiannya 70 hari. Hadits lagi bahwa " man lam yahzan li mautil 'aalim fa huwa munafiq munafik munafik "- Siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang alim, maka dia adalah munafiq munafik munafik. Allahu ... Allah.
Marilah kita hadiahkan bacaan al-Fatihah dan al-Ikhlash serta mendoakan agar roh almarhum ditempatkan bersama para nabiyyin siddiqin syuhada `dan sholihin.
http://bahrusshofa.blogspot.com/2006/07/syed-ahmad-bin-semait.html
