Habib Hasan bin Ahmad BaHarun (w 1420H)

Habib Hasan bin Ahmad BaHarun lahir di Sumenep pada tanggal 11 Juni 1934 dan merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari Habib Ahmad bin Husein bin Thohir Bin Umar BaHarun dengan Fathmah Binti Ahmad Bakhabazi. Wafat pada hari Senin tanggal 8 Shafar 1420 H bersamaan tanggal 23 Mei 1999 M.

Sejak masih kecil disiplin dan kesederhanaan telah ditanam oleh kedua orang tua beliau sehingga beliau tumbuh menjadi sosok pribadi yang memiliki akhlak dan sifat-sifat yang terpuji.

Pendidikan Agama selain diperoleh dari bimbingan kedua orang tuanya ia dapatkan dari Madrasah Makarimul Akhlaq, Sumenep dan dari kakeknya yang dikenal sebagai ulama di Kabupaten Sumenep yaitu Ustaz Ahmad Bin Muhammad Bakhabazi yang senantiasa membangun dan membimbingnya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran dan apabila ada undangan untuk dakwah Abuya Ustaz Hasan BaHarun sering diajak untuk menemaninya.

Setelah kakeknya meninggal ia menimba ilmu agama dari bapa-bapa saudaranya sendiri yaitu Ustaz Usman Bin Ahmad Bakhabazi dan ke Ustaz Umar Bin Ahmad Bakhabazi. Semangat belajar Ustaz Hasan BaHarun sejak kecil memang dikenal rajin bahkan apabila bulan Ramadhan tiba dia belajar semalam suntuk, setelah melaksanakan sholat tarawih dan tadarus Al-Qur'an beliau lanjutkan dengan belajar dan mendiskusikan masalah agama kepada Ustaz Usman sampai tiba waktu subuh / sahur. Dan ia menjadi murid kesayangan al-Faqih Habib Umar Ba'Agil Surabaya. Pada Habib Umar Ba'Agil inilah beliau banyak memperdalam ilmu fiqih disamping ilmu-ilmu lainnya.

Disamping pendidikan agama ia juga menuntut ilmu umum mulai dari Sekolah Rakyat (SR / setingkat SD), Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun dan hanya sampai di kelas 4 karena pindah dan melanjutkan ke SMEA di Surabaya.

Saat menginjak usia remaja beliau senang berorganisasi baik remaja masjid atau organisasi lainya seperti Persatuan Pelajar Islam (PII) bahkan beliau pernah diutus untuk mengikuti Muktamar I PII se-Indonesia yang pada saat itu dilaksanakan di Semarang. Dan pernah pula menjadi ketua Pandu Fatah Al-Islam di Sumenep.

Setelah mengakhiri sekolahnya ia sering mengikuti ayahnya ke Masalembu untuk berdakwah sambil membawa barang dagangan. Keluarga Ustaz Hasan pada saat itu dikenal ramah dan ringan tangan, apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya disuruh membayar semampunya bahkan dibebaskan. Sifat-sifat inilah yang diwarisi beliau yang dikenal apabila berdagang tidak pernah membawa untung karena senantiasa membebaskan orang-orang yang tidak mampu membayarnya. Dan pada waktu menjadi pedagang keliling beliau dikenal suka mendamaikan apabila ada orang / tokoh masyarakat yang bermusuhan.

Pada tahun 1966 ia merantau ke Pontianak berdakwah keluar masuk dari satu desa ke desa yang lainnya yang pada waktu itu harus melewati hutan belantara yang masih ganas dengan binatang buas dan ular berbisanya, dalam jalan yang penuh lumpur dan rawa-rawa namun dengan penuh kesabaran dan ketabahan semua itu tidak dianggapnya sebagai rintangan. Dengan penuh kearifan dan bijaksana diperkenalkannya dakwah Islam kepada orang-orang yang masih awam terhadap Islam. Dan alhamdulillah dakwah yang beliau lakukan mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat atau tokoh-tokohnya.

Di setiap daerah yang beliau masuki untuk berdakwah beliau senantiasa bersilaturrahmi terlebih dahulu kepada tokoh masyarakat dan Ulama / kiyai setempat untuk memberitahu sekaligus minta izin untuk berdakwah di daerah tersebut sehingga dengan budi pekerti, akhlak dan sifat-sifat yang terpuji itulah masyarakat beserta tokohnya banyak yang simpati dan mendukung terhadap dakwah yang beliau lakukan.

Pada waktu melakukan dakwah beliau senantiasa membawa seperangkat peralatan pengeras suara (loudspeaker / sound system) yang pada saat itu memang masih langka di Pontianak sehingga dengan hal itu tidak merepotkan yang punya hajat / mengundangnya untuk mencari sewaan pengeras suara. Dan tak lupa pula beliau membawa satir / tabir untuk menghindari terjadinya ikhtilat (percampuran) antara laki-laki dan perempuan dan perbuatan ma'siat / dosa lainnya dalam pertemuan dan acara dakwah tersebut. Karena beliau berprinsip bahwa jika terjadinya perbuatan dosa di tempat itu sudah barang tentu ia mendapat bagian dosanya dan akan menghalang-halangi masuknya hidayah Allah sedangkan pahala dakwah beliau belum tentu diterima oleh Allah SWT.

Perdagangan yang ia lakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sekaligus dijadikan sarana pendekatan kepada masyarakat. Kedermawanan dan belas kasihnya kepada orang yang tidak mampu menyebabkan dagangannya tidak pernah berkembang karena keuntungannya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu serta membebaskan orang yang tidak mampu membayarnya. Selain itu pula ia memiliki keahlian memotret dan cuci cetak film yang beliau gunakan pula sebagai daya tarik dan mengumpulkan massa untuk didakwahi, karena pengambilan hasil pemotretan yang beliau lakukan sudah ditentukan waktunya, sehingga apabila mereka sudah berkumpul sambil menunggu cuci-cetak selesai waktu menunggu tersebut diisi dengan ceramah dan tanya jawab masalah agama.

Selain berdakwah beliau aktif pula di partai politik yaitu Partai NU (Nahdatul Ulama) dan dikenal berani dan tegas di dalam menyampaikan kebenaran sehingga pada saat itu sempat diperiksa dan ditahan. Namun pada saat itu masyarakat akan melakukan demonstrasi besar-besaran bila ia tidak segera dikeluarkan dan atas bantuan pamannya sendiri yang saat itu aktif di Golkar membebaskan beliau dari tahanan. Dan tak lama setelah kejadian tersebut, sekitar tahun 1970 atas permintaan dan perintah dari ibundanya, beliau pulang ke Madura dan disuruh untuk berdakwah di Madura atau di Pulau Jawa saja. Namun karena kegigihan beliau selama 2 tahun masih tetap aktif datang ke Pontianak untuk berdakwah walaupun telah menetap di Jawa Timur.

Kemudian dilanjutkan dengan mengajar di Pondok Pesantren Gondanglegi Malang mengembangkan Bahasa Arab, sehingga pondok Gondanglegi pada saat itu terkenal maju dalam bidang bahasa Arab.

Selanjutnya beliau pindah dan mengabdikan diri di Pondok Pesantren Al Khairiyah Bondowoso bersama Ustaz Abdullah Abdun dan Habib Husein al-Habsyi. Sehingga beliau diminta oleh Habib Husein al-Habsyi untuk mengajar di Pondok Pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) yang baru dirintisnya. Pada waktu beliau mengajar di YAPI beliau dikenal sangat disiplin dalam mengajar dan mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pesantren, sehingga beliau mendapat kepercayaan menjadi tangan kanan Habib Husein al-Habsyi. Selama beliau mengajar di Pondok YAPI masyarakat Bangil tidak tahu bahwa ia adalah anggota pidato (seorang orator) karena Habib Husein al-Habsyi melarangnya untuk melakukan dakwah dan menerima kursus bahasa Arab. Adapun karya besar beliau pada saat mengajar di YAPI, beliau sempat mengarang kamus bahasa Arab yaitu bahasa Dunia 'Ashriyah dan kitab percakapan bahasa Arab (Muhawaroh Jilid I, II) yang pada saat ini banyak dipakai di berbagai pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam.

Selain mengajar di tempat yang telah disebut di atas, beliau juga pernah mengajar di berbagai pondok pesantren diantaranya: Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Salafiyah asy-Syafi'iyah Asembagus Situbondo, Pondok Pesantren Langitan Tuban, dan lain-lain. Pada waktu cuti pondok pesantren, beliau gunakan waktunya untuk menyebarkan dan mengembangkan Bahasa Arab ke berbagai pondok pesantren, baik di Jawa Timur atau di Jawa Tengah.

Pada tahun 1982, beliau dengan telah membuka pondok pesantren sendiri dengan 6 orang santri yang belajar di rumah sewa di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan. Dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana para santri tersebut dibangun langsung oleh beliau dan Habib Ahmad as-Saqqaf. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1983 membuka atau menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Keadaan (tempat pondok pesantren) terus berpindah-pindah tempat sewa sebanyak 11 kali kontrak rumah hingga tahun 1984. Dengan jumlah santri yang terus berkembang serta tempat (rumah sewa) tidak dapat menampung perkembangan jumlah, maka pada tahun 1985 Pondok Pesantren Darul lughah Wad dakwah pindah ke Desa Raci Kecamatan Bangil (lokasi sendiri) sebuah desa yang masih jarang penduduknya dan belum ada sarana letrik. Dengan jumlah santri sebanyak 186 orang santri yang terdiri dari 142 orang santri putra dan 48 orang santri putri. Pondok pesantren ini berkembang pesat dan setelah wafatnya diterajui oleh anakandanya Habib Zain bin Hasan bin Ahmad BaHarun yang merupakan murid asuhan Almarhum Buya Habib Muhammad bin 'Alawi bin' Abbas al-Maliki.

Mudah-mudahan Allah membalasi Buya Habib Hasan BaHarun dengan senang dan meninggikan maqamnya di syurga Firdaus tertinggi ..... aaamiin .... al-Fatihah.